Dahulu Desa Nagoro yang terletak di Jepang, dihuni lebih dari 300 penduduk. Namun keengganan orang Jepang berketurunan membuat populasi Jepang menurun, terlebih tempat terpencil seperti Desa Nagoro. Satu per satu penduduknya meninggalkan desa mereka menuju kota yang lebih ramai. Akibatnya populasi desa itupun menurun, hanya mencapai 35 orang saja. Sampai kedatangan Tsukimi Ayano membuat desa tersebut “ramai” kembali.

Tsukimi Ayano lahir dan dibesarkan di Desa Nagaro, kemudian ia pindah ke Osaka, Jepang. Menjelang kepergian ayahnya, Tsukimi memutuskan untuk pulang kampung. Dibanding Osaka yang merupakan kota terbesar ketiga di Jepang, Nagoro sangatlah sepi. Maka Tsukimi mulai membuat boneka-boneka sekuran manusia untuk menjadi “penduduk” Desa Nagaro.

Semua boneka yang dibuat Tsukimi bukanlah sosok buatannya, melainkan penduduk desa yang sudah meninggal dunia atau meninggalkan desa. Tsukimi mengingat mereka saat hidup, lalu membuat versi bonekanya. Sehingga boneka-boneka itu seolah “menghidupkan” kembali penduduk yang sudah meninggal, atau “mengembalikan” mereka yang sudah meninggalkan desa.

Tsukimi bahkan menaruh boneka-boneka buatannya di rumah-rumah penduduk, sebagaimana dahulu mereka tinggal. Termasuk di bangunan-bangunan yang sudah tidak terpakai, seperti sekolahan. Secara rutin Tsukimi berkeliling melihat kondisi boneka-boneka itu untuk memperbaiki apabila ada yang robek.

Alih-alih mengobati kesepian penduduk desa yang tersisa, boneka-boneka Tsukimi malah menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Desa Nagaro. Bahkan desa tersebut memiliki sebutan baru, yakni “The Valley of Dolls” atau “Desa Boneka”. Berkat wisatawan yang datang, Desa Nagaro tidak sepi lagi. Selalu saja ada yang datang untuk mengagumi karya Tsukimi, sekaligus mengenang kehidupan Desa Nagaro saat masih dihuni ratusan orang.
